2010-11-20

Satu Matahari, Dua Roda, dan Sejuta Senyuman

Pukul 04.00 WIB. Aku terbangun dari mimpiku yang tak bisa kuingat kembali. Saat itu dingin sekali. Awan pun terlihat gelap. Mungkin hari ini akan turun hujan, tetapi aku tidak akan malas untuk beranjak dari tempat tidurku. Lekas aku salat. Setelah itu mandi, lalu dilanjutkan dengan sarapan pagi. Hari ini aku harus semangat, karena untuk pertama kali aku akan pergi ke Kota Tua dengan menaiki sepeda.

Segala persiapan harus kuperiksa ulang. Pakaian khusus (biasa saja sih sebenarnya) untuk bersepeda, siap. Dua botol minum di dalam tas ditambah satu botol di tungkai sepeda, siap. Pengisian perut, beres. Aku pun menuju ke sepeda yang akan kubawa berkelana. Segera kukeluarkan sepeda itu dari teras, namun Krrekkk. Sepeda itu tak bergerak. Kudorong lagi, namun tetap tidak bergerak. Maka, kuperiksa apa yang terjadi dengan sepeda ini. Oh, ternyata sepeda ini terkunci. Kuambil kunci gembok sepeda, lalu kubuka. Oke, semua persiapan beres. kulihat langit masih tak berubah. Waktu menunjukkan pukul 05.45 WIB. Karena aku harus sampai di sana pada pukul 06.00 WIB, aku segera berangkat. Matahari yang mulai terbit, mengiringi aku mengayuh pedal sepedaku. Segeralah aku menuju ke tempat di mana aku akan bertemu teman-temanku, tepatnya di depan Salon Cantik pertigaan jalan Damai dengan jalan Ciledug Raya.

Aku mengayuh sepedaku terus sampai ke luar komplekku. Jalanan masih terlihat sepi. Mobil yang lalu lalang tak begitu banyak. Mulailah aku bersepeda. Setelah sekitar 10 menit dalam perjalanan, hujan turun rintik-rintik. Kupaksakan saja, karena hujan yang seperti itu tak akan berpengaruh besar terhadap aku maupun sepedaku. Benar saja, hujan itu berhenti tak lama kemudian. Hari ini memang aku diiizinkan Tuhan untuk bersepeda.

Aku tiba di depan Salon Cantik. Aku tiba sekitar pukul 05.59 WIB (nyaris saja). Namun aku kaget karena temanku yang datang baru satu orang, yaitu Ridwan atau biasa dipanggil Ahunk (dibaca: Ahong). Ternyata oh ternyata, mereka semua datang terlambat kecuali aku dan sang pencetus kegiatan ini ‘Ahunk’ada dua orang yaitu Aulia dan Harun tidak bisa ikut karena pada hari itu mereka les. Oke, layaknya di sebuah medan perang, dua orang telah gugur dari peperangan. Aku dan rombonganku berdua kemudian mengkonfirmasi yang lain. Alhasil, ada dua orang yang masih di rumah menunggu temannya untuk berangkat bersama. Waktu menunjukkan pukul 06.18 WIB. Adi, salah satu temanku akhirnya datang. Padahal rumahnya tidak sampai 200 meter dari lokasi. Sekitar 20 menit kemudian, datanglah tiga orang tadi yang telah saling menunggu yaitu Adik, Aufa, dan Sasa. Kemudian, diikuti dengan kedatangan Novian alias ‘Piyonk’ yang tiba setelah mereka bertiga. Oke, aku siap berangkat. Namun menahan gerak langkahku mengayuh sepedaku. Sasa mengatakan bahwa ada satu temannya lagi yang ingin ikut serta. Akhirnya aku dan keenam temanku menunggu dalam waktu yang terbilang cukup lama. yang tidak terlambat. Aku dan Ahunk mencoba mengkonfirmasi yang lain. Hasilnya, ada dua orang yaitu Aulia dan Harun tidak bisa ikut karena pada hari itu mereka les. Oke, layaknya di sebuah medan perang, dua orang telah gugur dari peperangan. Aku dan rombonganku berdua kemudian mengkonfirmasi yang lain. Alhasil, ada dua orang yang masih di rumah menunggu temannya untuk berangkat bersama. Waktu menunjukkan pukul 06.18 WIB. Adi, salah satu temanku akhirnya datang. Padahal rumahnya tidak sampai 200 meter dari lokasi. Sekitar 20 menit kemudian, datanglah tiga orang tadi yang telah saling menunggu yaitu Adik, Aufa, dan Sasa. Kemudian, diikuti dengan kedatangan Novian alias ‘Piyonk’ yang tiba setelah mereka bertiga. Oke, aku siap berangkat. Namun menahan gerak langkahku mengayuh sepedaku. Sasa mengatakan bahwa ada satu temannya lagi yang ingin ikut serta. Akhirnya aku dan keenam temanku menunggu dalam waktu yang terbilang cukup lama.

ada dua orang yaitu Aulia dan Harun tidak bisa ikut karena pada hari itu mereka les. Oke, layaknya di sebuah medan perang, dua orang telah gugur dari peperangan. Aku dan rombonganku berdua kemudian mengkonfirmasi yang lain. Alhasil, ada dua orang yang masih di rumah menunggu temannya untuk berangkat bersama. Waktu menunjukkan pukul 06.18 WIB. Adi, salah satu temanku akhirnya datang. Padahal rumahnya tidak sampai 200 meter dari lokasi. Sekitar 20 menit kemudian, datanglah tiga orang tadi yang telah saling menunggu yaitu Adik, Aufa, dan Sasa. Kemudian, diikuti dengan kedatangan Novian alias ‘Piyonk’ yang tiba setelah mereka bertiga. Oke, aku siap berangkat. Namun menahan gerak langkahku mengayuh sepedaku. Sasa mengatakan bahwa ada satu temannya lagi yang ingin ikut serta. Akhirnya aku dan keenam temanku menunggu dalam waktu yang terbilang cukup lama.

Menit demi menit berlalu. Sambil menunggu, aku memeriksa keadaan sepedaku. Ternyata, jok sepedaku kendor sehingga mudah goyang. Aku pun meminjam alat yang menurutku sangat praktis. Tidak tanggung-tanggung, 10 jenis kunci yang memiliki bentuk berbeda satu sama lain. Setelah baut-baut dan paku pada sepeda diperbaiki, akhirnya orang yang sedang ditunggu tiba. Firda, dia anak OSIS saat kelas XI. Dia cukup mempunyai andil dalam perkembangan OSIS saat itu. Tetapi tak kusangka, dia akan ikut bersepeda.


Semua telah hadir. Aku dan rombonganku berangkat ke Kota Tua, dengan pemberhentian pertama di Bundaran Hotel Indonesia (HI). Sekarang sudah pukul 07.00 WIB. Matahari mulai muncul dari bangunan-bangunan yang agak tinggi. Satu jam sudah jadwal aku dan rombonganku ngaret. Aku dan rombonganku bergegas menuju bundaran HI. Dalam perjalanan, baru pertama kali kurasakan bersepeda dengan beramai-ramai. Senang sekali, kuamati mereka saling susul-menyusul, kejar-kejaran, berbicara satu sama lain, atau mendengarkan musik dengan santai. Benar-benar nuansa berbeda dengan apa yang kulihat pada pengendara motor maupun mobil. Mereka cenderung tertutup dan invidualis. Mereka mementingkan kepentingan pribadi, tingkat emosi yang terbilang lebih tinggi, dan dengan mudah mengeluarkan kata-kata kasar bila perjalanannya terganggu. Mereka pun harus mengikuti segala peraturan lalu lintas. Namun, berbeda dengan motor ataupun mobil, sepeda tidak memiliki peraturan yang sangat rumit. Buktinya, selama pengendara sepeda mampu menyeberangi jalan, dan tanpa harus memperhatikan rambu lalu lintas, maka hal itu diperbolehkan.

Sekitar 35 menit aku dan rombonganku telah bersepeda. Aku dan rombonganku sampai di gelanggang olahraga, Senayan. Rombanganku sempat terpisah karena jarak yang terlampau jauh. Aku dan temanku mencoba menelpon rombongan yang satunya. Setelah dikonfiirmasi, ternyata rombonganku dan rombongan yang satu lagi berbelok ke arah yang berbeda. Rombonganku akhirnya berputar menuju rombongan yang satu lagi. Saat berputar, Piyonk melihat seseorang menaiki motor CBR (motor yang mewah). Namun sayangnya pengendara itu sedang ditilang karena tidak memakai helm. Sangat disayangkan, motor sudah bagus tetapi melanggar peraturan. Piyonk berteriak sambil menjauh, “Ambil aja motornya, Pak!” Hahaha sangat lucu sekali rombongan aku dan rombonganku mendengarnya. Piyonk memang senang sekali menyeletuk. Dan sekali lagi, sepeda tidak memiliki peraturan tersebut.

Sekitar pukul 08.00 WIB aku beserta seluruh rombongan memasuki jalan utama menuju bundaran HI. Karena hari ini adalah hari Minggu, jalan tersebut sedang melaksanakan kegiatan bulanan, yaitu Car Free Day. Maksudnya, pada pukul 06.00 – 12.00 WIB jalanan itu tertutup bagi pengendara motor dan mobil. Dan lagi-lagi yang terbebas dari peraturan tersebut adalah pengendara sepeda! Wow, betapa senangnya. Langsung saja, pada hari itu juga terdapat kegiatan produk susu Anlene yang disebut “Gerakan 10.000 Langkah”. Banyak orang yang mengikuti kegiatan itu. Mereka semua berseragam sama ‘hijau’ serta membawa balon. Saat itu ada juga orang yang menggunakan pegas di kaki sehingga mampu loncat dengan tinggi. Tak sedikit pula pedagang yang berada di sana. Senangnya melihat banyak orang berkumpul saat itu. Matahari yang bersinar kadang tertutupi oleh pohon-pohon yang rindang. Suasana saat itu sangat sejuk sekali.

Perjalanan dilanjutkan. Aku dan rombonganku memasuki monas untuk memotong jalur. Akan tetapi di sini tidak beristirahat. Setelah beberapa saat, ternyata di situ juga terdapat kegiatan produk Anlene beserta stand-stand. Mungkin, aku akan bertemu kembali dengan kegiatan produk Anlene di Kota Tua hahaha (hanya bergurau). Lagi-lagi rombongan sempat terpisah. Namun tak lama kemudian aku dan rombonganku menyatu kembali (seperti robot saja, hahaha). Pada saat itu hari mulai panas karena waktu menunjukkan pukul 09.30 WIB. Karena jalur yang ditempuh hanya beberapa kilometer lagi, kami segera bergegas melanjutkan perjalanan.

Setelah keluar dari monas, tak kusangka jalan selanjutnya yang akan aku dan rombonganku lewati hanya berupa jalur lurus yang panjang. Karena jalan tersebut hanya lurus dan lurus, aku rasakan kebosanan disertai rasa lelah yang mulai muncul. Akan tetapi kulihat teman-temanku masih saja bersemangat dan terus mengayuh dengan cepat sehingga aku ada di urutan paling belakang (kalau pada balapan sepeda motor, mungkin aku tidak akan mendapat poin, hahaha). Ingin aku mengendarai sepeda sambil memejamkan mata untuk menghilangkan lelah dan merasakan udara yang mampir ke dalam tubuhku. Namun hal itu mustahil, karena benda-benda asing alias motor dan mobil bergerak lalu lalang di sekelilingku. Matahari juga senantiasa menerangi kepalaku yang sudah mulai panas karenanya. Tetapi, tak apa. Karena itu merupakan anugerah dari Sang Pencipta.

Tempat pemberhentian terakhir ada ujung pandangan mataku. Aku pun mempercepat laju sepeda untuk segera sampai di sana. Yup, aku berada di urutan depan. Aku dan rombonganku sampai di Kota Tua dengan selamat, alhamdulillah. Waktu menunjukkan pukul 10.15 WIB. Aku dan teman-temanku beristirahat tepat di depan museum Fatahillah untuk beberapa saat. Aku membuka bekal makanan yang aku bawa. Begitu juga dengan temanku. Senangnya bisa tertawa bersama dengan temanku. Saling bercanda, namun ada pula yang mengambil foto saat itu untuk mengabadikan kegiatan ini.

Saat istirahat, Adik, Aufa, dan Piyonk pergi untuk membeli makanan. Sedangkan aku, Adi, Ahunk, dan Sasa masuk ke dalam museum Fatahillah. Berbeda dengan Firda, ia ingin beristirahat di antara sepeda-sepeda yang diparkir. Mungkin ia terlampau lelah, pikirku.

Ketika ingin masuk, aku dan temanku harus membayar terlebih dahulu. Karena dahulu aku sempat ke sini dan hanya membayar 250 rupiah per orang, aku pun berinisiatif untuk memakai uangku saja, sebesar seribu rupiah. Namun setelah kuperiksa, ternyata orang yang masuk ke sana harus membayar seribu rupiah per orang. Tak jadilah aku membayarkan mereka. Maklum, uang yang kubawa tidaklah banyak. Demikian juga aku belum jajan untuk mengisi perutku, hhe. Di dalam museum, aku begitu juga dengan orang-orang yang ada mencoba mengabadikan segala objek peninggalan Belanda yang ada saat itu. Mulai dari kursi, meja, kaca besar, pedang, dan lain sebagainya. Jiwa narsis pun muncul dari beberapa pengunjung yang berada di sana. Setelah kurang lebih setengah jam, aku, Adi, Ahunk, dan Sasa keluar dari museum. Di tempat parkiran kulihat Adik, Aufa, dan Piyonk sudah kembali dari berjajan ria. Tiba giliran kami berempat yang memburu makanan. Oh, iya. Sempat kulihat lagi orang-orang berseragam hijau alias peserta kegiatan Anlene. Pikiran-pikiran anehku keluar.Kenapa mereka cepat sekali sampai padahal mereka berjalan kaki? Apa mereka berlari? Atau menggunakan mesin waktu? Hah, tak usah dipikirkan. Memang terkadang aku mempunyai stok imajinasi yang berlebih.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Adi menganjurkan untuk pulang sekarang, sehingga saat tiba di masjid Istiqlal akan bertepatan dengan adzan. So, kami semua memutuskan untuk pulang. Matahari yang terus menyinari langkah kami, sepeda–sepeda berkeliaran, menghilangkan segala kepenatan terhadap jutaan motor dan mobil di Jakarta, dan sejuta senyuman saat dalam perjalanan yang begitu mengesankan. Rasa senang yang kurasakan bersama teman tidak akan aku lupakan. Begitu juga dengan sepedaku yang telah setia menemaniku selama perjalanan (ya jelas, karena memang dibutuhkan sepeda dalam kegiatan ini). Kuharapkan akan ada kegiatan bersepeda seperti ini lagi suatu hari nanti. Benar saja, beberapa hari kemudian, kulihat Facebook. Sang pencetus, Ahunk akan merencanakan bersepeda kembali. Tetapi untuk kali ini perjalanan akan diarahkan menuju ke Pantai Ancol. Wah! :D

2 komentar:

  1. mangstab gan.............
    tp bagian terburuknya nggak disebutkan tuh (seperti Firda yg gak masuk sekolah seminggu krn sakit setelah ampe rumah)..........
    And.......... disini jelas, semuah kru sangat lelah setelah sampe rumah, pasti kalo kaki yg gak biasa ampe rumah langsung dikasih koyok (kayak pyong, hehehe..........)
    TAPI......... tetap saja PUAASSSS.............
    yakhan.............

    BalasHapus
  2. Iya, pengennya sih gw tambahin. Eeeee... gw pikirin dulu deh!!! haha

    BalasHapus